GUNDAH HATI
By : Xavier
“Seandainya hukum alam tidak ada, aku akan
segera membunuh diriku sendiri,” gumam seseorang didekatku.
Aku memerhatikannya, mendengarkan ocehannya
yang tidak karuan tersebut. Rambutnya yang sebahu itu memberi kesan anak-anak
dimataku. Aku mulai berbicara kepadanya sesaat setelah dia selesai bergumam.
“Dan kalau hukum alam tidak ada, apa kamu
akan benar-benar ingin mati?”
Dia terdiam.
“Yahh.. entahlah. Lia sendiri?”
“Lahh, aku disini mendengar ocehanmu tentang
mati dan bunuh diri. Tentang kesakitanmu, tentu saja aku tidak akan berpikir
seperti itu meski hukum alam tidak ada.”
Aku terdiam, menatap wajahnya yang
benar-benar tidak mampu berekspresi. Dia terlihat dipenuhi keputus asaan, aku
benar-benar tidak menyukai pemandangan seperti itu. Aku kembali menatap langit
sambil mengangkat sebelah tanganku, membayangkannya mencapai langit.
“Kalau kamu kira dunia ini tidak baik, kamu
tentu benar. Tapi bukannya aku memaksamu untuk tidak berpikir seperti itu. Aku mengerti
semua perasaanmu, tanpa kamu jelaskan pun aku sudah mengetahuinya-,”
“Aku tidak mengerti !” potongnya.
Aku menghela napas dan menghadapkan telapak
tanganku kearah wajahku dan berkata, “Coba kau dengan Inochi ni Kirawarete iru atau juga kumpulan lagunya Mafumafu, kamu akan mengerti aku kenapa
aku berkata seperti itu.” Dia seperti yang enggan mengetahui masalahku, enggan
mengetahui tentang perasaanku. Aku memasang wajah datar, pandangan kosong.
“Biarkan aku sendiri, sebentar saja” bisikku.
Lalu dia pergi dari hadapanku, dengan hatiku yang khawatir, takut dan tidak
bisa tergambarkan. Aku merasakan kekecewaan paling menyakitkan, aku merasakan
rasa sakit yang luar biasa. Aku menangisi diriku, lalu berusaha kembali seperti
dulu.
Dia pergi, tanpa meninggalkan jejak yang
pasti. Aku ingin mencarinya, namun sayang hatiku belum siap untuk jujur padanya
tentang perasaan diriku. Aku membiarkannya, berpikir sejenak.
“Tapi aku tidak yakin apakah dia akan
menemukan jawaban atas hampanya dirinya,” batinku. Aku kembali menangis,
menatap kosong dunia ini. Apa yang kulakukan? Apa aku sudah menjadi teman baik?
Aku jahat padanya, kan?
Aku pergi ke atap sekolah sore hari, menatap
langit senja yang cukup indah. Seketika air mataku kembali menetes, aku
mengusapnya perlahan dan berusaha untuk menahannya, namun tidak berhasil.
Aku berdiri,
Menegarkan hati,
Mengambil napas,
“Aku benci diriku! Aku hanya ingin kamu tetap
semangat menjalani hidup meskipun gelap menyelimuti!! Aku tidak bisa membantumu
lebih dari itu dan aku hanya bisa menangis di belakang layar karena tidak bisa
berbuat banyak untukmu! Aku lelah melihatmu seperti itu, aku hanya ingin kamu
tetap berlari dan berjalan melangkah menemukan impianmu! Aku hanya ingin kamu
menyadari bahwa hidup memang kejam dan kita hanyalah makhluk fana didalamnya!”
teriakku.
Aku berteriak sekencang-kencangnya, menangis
sekeras-kerasnya, meluapkan rasa sakit yang kupangkul sendirian. “Aku ingin
memelukmu,” ucapku tersedu-sedu. Aku terduduk, dan bersujud berdoa pula
berpasrah kepadaNya.
Seragam yang menempel ditubuhnya, ditubuhku,
ditubuh kita hanyalah kain saat ini. Sudah tidak ada kebanggaan ketika
mengenakannya, sekolah tak lain adalah penjara mental menyakitkan, tidak ada
yang bisa menanggulangi rasa sakit depresi saat ini. Namun, aku percaya bahwa
Allaah subhanahu wa ta’ala tak akan membiarkan hamba-Nya hancur hanya karena
depresi yang kita alami di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar