Senin, 25 Maret 2019

GUNDAH HATI

GUNDAH HATI
By : Xavier



  “Seandainya hukum alam tidak ada, aku akan segera membunuh diriku sendiri,” gumam seseorang didekatku.
  Aku memerhatikannya, mendengarkan ocehannya yang tidak karuan tersebut. Rambutnya yang sebahu itu memberi kesan anak-anak dimataku. Aku mulai berbicara kepadanya sesaat setelah dia selesai bergumam.
  “Dan kalau hukum alam tidak ada, apa kamu akan benar-benar ingin mati?”
  Dia terdiam.
  “Yahh.. entahlah. Lia sendiri?”
  “Lahh, aku disini mendengar ocehanmu tentang mati dan bunuh diri. Tentang kesakitanmu, tentu saja aku tidak akan berpikir seperti itu meski hukum alam tidak ada.”
  Aku terdiam, menatap wajahnya yang benar-benar tidak mampu berekspresi. Dia terlihat dipenuhi keputus asaan, aku benar-benar tidak menyukai pemandangan seperti itu. Aku kembali menatap langit sambil mengangkat sebelah tanganku, membayangkannya mencapai langit.
  “Kalau kamu kira dunia ini tidak baik, kamu tentu benar. Tapi bukannya aku memaksamu untuk tidak berpikir seperti itu. Aku mengerti semua perasaanmu, tanpa kamu jelaskan pun aku sudah mengetahuinya-,”
  “Aku tidak mengerti !” potongnya.
  Aku menghela napas dan menghadapkan telapak tanganku kearah wajahku dan berkata, “Coba kau dengan Inochi ni Kirawarete iru atau juga kumpulan lagunya Mafumafu, kamu akan mengerti aku kenapa aku berkata seperti itu.” Dia seperti yang enggan mengetahui masalahku, enggan mengetahui tentang perasaanku. Aku memasang wajah datar, pandangan kosong.
  “Biarkan aku sendiri, sebentar saja” bisikku. Lalu dia pergi dari hadapanku, dengan hatiku yang khawatir, takut dan tidak bisa tergambarkan. Aku merasakan kekecewaan paling menyakitkan, aku merasakan rasa sakit yang luar biasa. Aku menangisi diriku, lalu berusaha kembali seperti dulu.
  Dia pergi, tanpa meninggalkan jejak yang pasti. Aku ingin mencarinya, namun sayang hatiku belum siap untuk jujur padanya tentang perasaan diriku. Aku membiarkannya, berpikir sejenak.
  “Tapi aku tidak yakin apakah dia akan menemukan jawaban atas hampanya dirinya,” batinku. Aku kembali menangis, menatap kosong dunia ini. Apa yang kulakukan? Apa aku sudah menjadi teman baik? Aku jahat padanya, kan?
  Aku pergi ke atap sekolah sore hari, menatap langit senja yang cukup indah. Seketika air mataku kembali menetes, aku mengusapnya perlahan dan berusaha untuk menahannya, namun tidak berhasil.
  Aku berdiri,
  Menegarkan hati,
  Mengambil napas,
  “Aku benci diriku! Aku hanya ingin kamu tetap semangat menjalani hidup meskipun gelap menyelimuti!! Aku tidak bisa membantumu lebih dari itu dan aku hanya bisa menangis di belakang layar karena tidak bisa berbuat banyak untukmu! Aku lelah melihatmu seperti itu, aku hanya ingin kamu tetap berlari dan berjalan melangkah menemukan impianmu! Aku hanya ingin kamu menyadari bahwa hidup memang kejam dan kita hanyalah makhluk fana didalamnya!” teriakku.
  Aku berteriak sekencang-kencangnya, menangis sekeras-kerasnya, meluapkan rasa sakit yang kupangkul sendirian. “Aku ingin memelukmu,” ucapku tersedu-sedu. Aku terduduk, dan bersujud berdoa pula berpasrah kepadaNya.

  Seragam yang menempel ditubuhnya, ditubuhku, ditubuh kita hanyalah kain saat ini. Sudah tidak ada kebanggaan ketika mengenakannya, sekolah tak lain adalah penjara mental menyakitkan, tidak ada yang bisa menanggulangi rasa sakit depresi saat ini. Namun, aku percaya bahwa Allaah subhanahu wa ta’ala tak akan membiarkan hamba-Nya hancur hanya karena depresi yang kita alami di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar